Senin, 10 November 2014

Kesenjangan Tanpa Batas, Berani Menjawab ?



“saya hidup bukan atas kemauan, ide, perbuatan, dan karya saya namun bergantung pada orang lain yang berkuasa lebih dari saya”  sehingga mereka memanfaatkan kondisi dan situasi untuk memperdaya saya untuk bekerja walau “katanya memiliki hak sama di tanah ibu pertiwi”  namun  untuk bertahan hidup saya  memberikan hak saya dirampas untuk kata “hidup” inilah realita jertian
Kesejangan Sosial



Kesenjangan bukanlah hal tabu bagi negara-negara underdog, hal yang menjadi makanan sehari-hari menengok perampasan hak secara eksplisit maupun implisit dalam habitus bermasyarakat, apalagi blia bukan efek sesat liberal yang mengakibatkan tersebut. Underdog bukanlah hal yang diinginkan oleh masyarakat yang ditabukan oleh kepentingan elit politik namun hanya ingin merasakan rasanya hidup makmur. Mereka tidak paham apa itu ideolgi yang mengangkangi rezim pemerintahan ini yang kecuali pancasila , tidak paham akan namanya sikut-sikutan antar sesama saudara dan tak paham namanya menjadi seorang sapi perah untuk nadi orang lain, artinya masyarakat hanyalah objek dari trias politica negara sendiri yang menyusun kebijakan atas dasar ideologi suntikan yang memaksakan kaum-kaum borjuis import untuk menguasai harta kekayaan ibu pertiwi, dimana pertarungan antara Liberas melawan Nasionalis dimulut saja, yang pada akhirnya dikalahkan oleh nafsu manusiawia nan beragama apalagi bila bukan “kertas merah” . Mudahnya birokrat-birokrat bangsa terjajakan oleh materi untuk sebuah kepentingan elit politik bukan lain adalah akibat pudarnya ideologi atau identitas diri bangsa yang tercerminkan dari birokrat dan warga negara negara tersebut yaitu “Pancasila”. Tanpa ideologi dan tanpa identitas diri sebagai sebuah negara yang ditanamkan sejak dini dalam seluruh masyarakat Indonesia akan mempengaruhi identitas bangsa dan tujuan bangsa yang tidak jelas arahnya.

Adidaya liberal yang merasuk kedalam sel-sel seluruh bangsa dengan tiga tahapan jitu yaitu pertama menguasai kekuasaan pemerintahan dan politik bangsa untuk kebijakan kaum-kaum pemodal tanpa mengindahkan amanat rakyat. Kedua menanamkan ide, manajemen, kegiatan, dan kemegahan infrastruktur untuk mengubah masyarakat sesuai kebutuhan pasar sehingga transisi masyarakat kultur berubah menjadi masyarakat individualis yang ekspatasi mengarah pada hedonis masyarakat, ketiga selalu berusaha melemahkan bahkan mematikan gerakan perlawanan masyarakat terhadap ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar problematika yang hadir telah bersifat struktur dan inilah menjadi tantangan yang harus dijawab bersama oleh elemen masyarakat.

Efek kesenjangan sosial merupakan konsumsi mata sehari-hari, dimana si miskin hanya sebagai sapi perah yang diupah dengan gaji sangat rendah, padahal bahan mentah hasil si miskin yang akan diolah tersebut akan berimpact tinggi bagi kebutuhan pasar dengan kepastian harga yang tinggi, sehingga kehidupan mereka hanya untuk “bertahan hidup” artinya “saya hidup bukan atas kemauan, ide, perbuatan, dan karya saya namun orang lain yang berpower lebih dari saya “ kasarnya adalah pelanggaran hak kodrati sebagai manusia dengan kategori pelanggaran HAM namun terlihat lumrah karena pasar meminta seperti itu.  Si kaya hanya mengoalah saja dan berspekulasi harga dengan daya tawar menawar agar mempengaruhi pasar, memperluas kegiatan usaha dengan memanfaatkan keuntungan menjadi modal dalam ekspansi pasar.

Sehingga memungkinkan fantasi mereka yang tak pernah mereka bayangkan menjadi kenyataan, sedangkan para si miskin cukup dengan fantasi saja. Mereka memberi upah pekerja  dengan nilai miris dan murah, dimana pangkal masalah adalah kebijakan pemerintah terhadap upah tidak selaras terhadap kepentingan masyarakatnya , sistem pengawasan yang tidak transparan, dan proses penyelesaian sengketa atas dasar pemodal. Inilah hal yang perlu dijawab bersama apakah ini akan dibiarkan saja atau menjadi perlawanan bersama untuk menjadi sejarah yang dapat diceritakan sebagai perjuangan bagi generasi selanjutnya utnuk melawan namanya “pemiskinan” struktural yang sengaja dibangun oleh ideologi dan kaum borjuis import yang tidak kenal belas kasih.

Gerakan struktural adalah jawaban taktis dalam menjawab keresahan kesenjangan tanpa batas yang hadir dalam masyarakat, pergerakan laten Kaum Intelektualis Populis ( Aktivis dan Mahasiswa ) dalam mengakomodir masyarakat bukan lagi kebutuhan namun telah menjadi kewajiban untuk mengkritisi segala kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa bangsa agar kebijakan-kebijakan pemberi jarak dalam masyarakat heterogen ini tidak menjadi konflik kepentingan mengatasnamakan kesenjangan sebagai alasan. Masyarakat tidak tahu dengan sistem dan kepura-puraan  mereka hanya tahu kabar dan berita sehingga kepolosan watak masyrakat kultural terpovokasi oleh isu-isu taktis pengubah masyarkat menjadi individual. Tantangan ini perlu dijawab bersama, karena perhari ini organ-organ masyarakat hanya beraksi berdasarkan politik dan ideologi organ, tapi tidak berdasarkan masalah yang sama dan suara organ-organ masyrakat adalah suara rakyat, untuk menahan arus liberal pangkal utama kesenjangan harus mampu mengerakkan isu masa berdasarkan kebutuhan masyarakat dan mengajak mereka bahwa inilah kebutuhan bersama. Menjadi kontemplasi bersama bagaimaana kesiapan sebagai seorang kaum intelektulis Populis dalam diri dan berujuang hingga kesenjangan hak dan hidup di tubuh ibu pertiwi tidak menjadi tangis arwah-arwah pejuang bangsa?.

Presidium Gerakan Masyarakat 2013-2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar