Selasa, 10 Juni 2014

Membangun Asa di Tengah Keapatisan Pemilih


Rizal Sinurat
Ketua PMKRI Cab.B Lampung
St. Ignatius de Loyola periode 2013-2015

“ Membangun Asa di Tengah Keapatisan Pemilih “

Pemilu merupakan moment penting dalam perjalanan sejarah indonesia dalam mencari bentuk demokrasi yang sesuai dengan kultur dan kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat. Dalam melaksanakan pemilihan umum tersebut pastinya memakan waktu dan pendanaan yang besar. Untuk keperluan pemilihan umum tahun 2009 dalam UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008 mengalokasikan dana untuk keperluan penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 triliun dan untuk keperluan operasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp793,9 miliar.

Peningkatan jumlah masyarakat yang golput dalam pemilihan umum menjadi suatu keresahan bersama guna dicarikan permasalahan dan solusinya. Pada Pileg tahun 1999 angka golput 10,2 persen, pileg 2004 23,3 persen dan pada tahun 2009 menjadi 29 persen pemilih yang tidak menggunakan haknya  Kecenderungan peningkatan golput juga terjadi pada Pilkada. Di Jakarta, Pilgub pada 2007 mencatat angka golput 35,2 persen, sedangkan tahun 2012 angkanya melonjak menjadi 32 persen. Pada Pilgub Sumut jumlah golput mencapai 5,3 juta, Pilkada Jabar suara pemenangnya di bawah angka golput ( detiknews.com ).

Fenomena diatas bukan terjadi begitu saja, melainkan ada penyebab yang melatarbelakanginya. Menurut penulis ada beberapa penyebab yang dapat menimbulkan dan menambah angka golput tersebut. Pertama kondisi perpolitikan dewasa ini belum mampu menjawab kebutuhan akan sosok yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Perilaku dan etika yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari oleh elit-elit politik tidak mencermikan sikap seorang pemimpin dan cenderung mengabdi kepada kaum penguasa. Ini berbeda dengan esensi dari fungsi “ perwakilan “ yang disandang yang idealnya adalah untuk mengabdi kepada rakyat dengan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat tanpa melihat kelompok-kelompoknya. Kedua stigma yang telah tertanam dalam diri masyarakat “ siapa pun yang terpilih tidak akan berdampak pada kehidupannya”. Ketiga ketidakpercayaan (distrust) masyarakat kepada partai politik dan kandidat yang dicalonkan. Ini juga terjadi tidak berjalannya sistem kaderisasi ditubuh partai, sehingga fenomena sekarang partai yang mencari elit untuk dicalonkan.

Namun penting untuk diingat bahwa sebagai warga negara yang peduli akan nasib bangsa maka hak dan kewajiban hendaknya berjalan berdampingan. Dalam buku filsafat politiknya, Republic, Plato memberi arahan yang jelas, bahwa seorang warga negara akan dikatakan tidak bertanggung-jawab dan tidak pantas disebut sebagai warga negara jika dalam hatinya tidak terpanggil untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Dan, seorang warga negara akan dikatakan kurang paham  jika sama sekali tidak mengambil hak-haknya sebagai warga negara.

Dalam Surat Gembala KWI menyambut Pemilihan Legislatif 2014, KWI merasionalisasikan arti penting keterlibatan warga negara dan gereja untuk menggunakan hak pilihnya. Keterpilihan calon-calon pemimpin nanti akan menentukan dan merumuskan arah dan kebijakan bangsa ini demi terwujudnya cita-cita founding  fathers yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 “...untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial,..”. Permasalahannya adalah apakah ketika kita tidak memilih nantinya orang-orang yang akan terpilih sudahkah orang-orang yang sesuai dengan cita-cita tersebut. Beruntung ketika orang tersebut sesuai artinya apa yang menjadi visi dan mimpi bersama setidaknya akan dilakukan meskipun masih dalam tahapan wacana.Tapi tidak beruntung ketika calon tersebut memang beriorentasi pada kepentingan pribadi dan kelompok maka kita hanya boleh menunggu waktu untuk mendegarkan kabar tak sedap itu.

Hal tersebut tidak dapat berjalan sendiri tanpa didukung oleh kemampuan calon dalam menentukan pilihannya. Penting kiranya untuk tidak mengeneralisir semua kandidat pemilu adalah korup dan penggumbar janji. Harapan tersebut masih ada dibuktikan dengan hadirnya wajah-wajah muda yang memang mampu menjawab tantangan pada hari ini, seperti Walikota Bandung, Surabaya dll. Mereka adalah hasil dari pemilihan langsung yang dipilih oleh rakyat. Kecerdasan dalam menentukan pilihan menjadi point penting untuk menghasilkan pemimpin yang profesional bukan meminta apa yang diberikan dan menerima selembar uang atau barang ketika akan mencoblos di bilik suara. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama bijak dalam penggunaan hak politik untuk membangun sebuah negara yang benar-benar mensejahtrakan rakyatnya (Welfare State).

Pro Ecclesia et Patria !!!
Religio Omnium Sciatiarum Anima